KERAJAAN MEDANG KAMULANG
Medang
Kamulang adalah wilayah atau kerajaan setengah mitologis yang dianggap pernah
berdiri di Jawa Tengah dan mendahului Kerajaan Medang. "Kamulan"
berarti "permulaan", sehingga "Medang Kamulan" dapat
diartikan sebagai "pra-Medang".
Kerajaan
ini dikatakan setengah mitologis karena tidak pernah ditemukan bukti-bukti
fisik keberadaannya. Sumber-sumber mengenai kerajaan ini hanya berasal dari
cerita-cerita rakyat, misalnya dalam legenda Loro Jonggrang, dan penyebutan
oleh beberapa naskah kuno. Cerita pewayangan versi Jawa menyebutkan bahwa
Medang Kamulan adalah tempat bertahtanya Batara Guru. Dalam legenda Aji Saka,
Medang Kamulan adalah negeri tempat berkuasanya Prabu Dewata Cengkar yang
zalim. Cerita rakyat lain, di antaranya termasuk legenda Loro Jonggrang dan
berdirinya Madura, menyatakan bahwa Medang Kamulan dikuasai oleh Prabu
Gilingwesi.
Legenda
Aji Saka sendiri menyebutkan bahwa Bledug Kuwu di Kabupaten Grobogan adalah
tempat munculnya Jaka Linglung setelah menaklukkan Prabu Dewata Cengkar. Van
der Meulen menduga, walaupun ia sendiri tidak yakin, bahwa Medang Kamulan dapat
dinisbahkan kepada "Hasin-Medang-Kuwu-lang-pi-ya" yang diajukan van
Orsoy, dalam artikelnya tentang Kerajaan "Ho-Ling" yang disebut
catatan Tiongkok. Hal ini membuka kemungkinan bahwa Medang Kamulan barangkali
memang pernah ada. Baris ke-782 dan 783 dari naskah kedua Perjalanan Bujangga
Manik dari abad ke-15 menyebutkan bahwa setelah Bujangga Manik meninggalkan
Pulutan (sekarang adalah desa di sebelah barat Purwodadi, Jawa Tengah) ia tiba
di "Medang Kamulan". Selanjutnya, dikatakan pula bahwa setelah
menyeberangi Sungai Wuluyu, tibalah ia di Gegelang yang terletak di sebelah
selatan Medang Kamulan. Naskah inilah yang pertama kali menyebutkan bahwa
memang ada tempat bernama Medang Kamulan, meskipun tidak dikatakan bahwa itu
adalah kerajaan.
Masyarakat Sunda diketahui mengenal legenda mengenai kerajaan ini, yang dikatakan mendahului Kerajaan Sunda Galuh. Pusat Kerajaan Medang
Bhumi Mataram adalah
sebutan lama untuk Yogyakarta dan sekitarnya. Di
daerah inilah untuk pertama kalinya istana Kerajaan Medang diperkirakan berdiri
(Rajya Medang i Bhumi Mataram). Nama ini ditemukan dalam beberapa
prasasti, misalnya prasasti Minto dan prasasti Anjuk
ladang. Istilah Mataram kemudian lazim dipakai untuk
menyebut nama kerajaan secara keseluruhan, meskipun tidak selamanya kerajaan
ini berpusat di sana.
Sesungguhnya, pusat
Kerajaan Medang pernah mengalami beberapa kali perpindahan, bahkan sampai ke
daerah jawa timur sekarang. Beberapa daerah yang pernah menjadi lokasi
istana Medang berdasarkan prasasti-prasasti yang sudah ditemukan antara lain,
·
Medang i Bhumi Mataram (zaman Sanjaya)
·
Medang i Mamrati (zaman Rakai Pikatan)
·
Medang i Poh Pitu (zaman Dyah Balitung)
·
Medang i Bhumi Mataram (zaman Dyah Wawa)
·
Medang i Tamwlang (zaman Mpu Sindok)
·
Medang i Watugaluh (zaman Mpu Sindok)
·
Medang i Wwatan (zaman Dharmawangsa Teguh)
Kerajaan Medang Kamulan
terletak di muara Sungai Brantas di Jawa Timur. Kerajaan ini dibangun oleh Mpu Sindok,
yang sebelumnya memerintah Kerajaan Mataram Kuno di Jawa Tengah. Di tempat
barunya ini, Mpu Sindok mendirikan sebuah dinasti yang bernama Isyana.
Pada masa pemerintahan
Dharmawangsa (991-1016), Medang berusaha menguasai jalur perdagangan laut di wilayah
Selat Malaka. Hal tersebut menyebabkan benturan dengan Kerajaan Sriwijaya.
Akibatnya fatal bagi Dharmawangsa sendiri. Dalam upayanya untuk mengalahkan
Dharmawangsa, Sriwijaya menjalin hubungan dengan negara bawahan Medang Kamulan,
yaitu Kerajaan Wurawuri.
Menurut Prasasti
Pucangan, pada tahun 1016 pasukan Wurawuri menyerang istana Dharmawangsa ketika
ia sedang menikahkan puterinya dengan Airlangga. Dalam perisitiwa tersebut,
Raja Dharmawangsa terbunuh sementara menantunya berhasil lolos. Prasasti ini
juga menceritakan pengembaraan Airlangga, yang hidup selama beberapa waktu
dengan para pertapa. Pada tahun 1019, para pendeta Siwa, Brahma, dan Budha
menobatkannya sebagai raja dengan gelar Sri Lakeswara Dharmawangsa Airlangga.
Dengan dukungan para pemuka agama tersebut, Airlangga berhasil mengambil alih
kekuasaan. Dia kemudian memindahkan pusat kekuasaan dari Waton Mas ke
Kahuripan.
* Gambar di atas adalah
Arca Airlangga menunggangi Burung Garuda. Garuda merupakan makhluk suci
setengah burung setengah manusia, yang dalam mitologi Hindu merupakan
tunggangan Dewa Wisnu.
Pada akhir
pemerintahannya, Airlangga mengalami kesulitan untuk menentukan penggantinya
karena sang pewaris, Maharantri i hino Wijayatunggadewi, menolak naik tahta dan
memilih menjadi seorang pertapa. Akhirnya, dengan bantuan Mpu Bharada,
Airlangga membagi dua kerajaannya menjadi Jenggala dan Panjalu (Kediri).
Struktur pemerintahan
Raja merupakan pemimpin
tertinggi Kerajaan Medang. Sanjaya sebagai raja pertama memakai
gelar Ratu. Pada zaman itu
istilah Ratu belum identik dengan kaum perempuan. Gelar ini
setara dengan Datu yang berarti "pemimpin". Keduanya
merupakan gelar asli Indonesia.
Ketika Rakai Panangkaran dari Wangsa Sailendra berkuasa,
gelar Ratu dihapusnya dan diganti dengan gelar Sri
Maharaja. Kasus yang sama terjadi pada Kerajaan Sriwijaya di mana
raja-rajanya semula bergelar Dapunta Hyang, dan setelah dikuasai
Wangsa Sailendra juga berubah menjadi Sri Maharaja.
Pemakaian gelar Sri
Maharaja di Kerajaan Medang tetap dilestarikan oleh Rakai Pikatan meskipun Wangsa Sanjaya berkuasa kembali.
Hal ini dapat dilihat dalam daftar raja-raja versi Prasasti Mantyasih yang menyebutkan
hanya Sanjaya yang bergelar Sang Ratu.
Jabatan tertinggi
sesudah raja ialah Rakryan Mahamantri i Hino atau kadang
ditulis Rakryan Mapatih Hino. Jabatan ini dipegang oleh putra atau
saudara raja yang memiliki peluang untuk naik takhta selanjutnya.
Misalnya, Mpu Sindok merupakan Mapatih
Hino pada masa pemerintahan Dyah Wawa.
Jabatan Rakryan
Mapatih Hino pada zaman ini berbeda dengan Rakryan Mapatih pada
zaman Majapahit. Patih zaman Majapahit
setara dengan perdana menteri namun tidak berhak
untuk naik takhta.
Jabatan sesudah Mahamantri
i Hino secara berturut-turut adalah Mahamantri i Halu dan Mahamantri
i Sirikan. Pada zaman Majapahit jabatan-jabatan ini masih ada namun hanya
sekadar gelar kehormatan saja. Pada zaman Wangsa Isana berkuasa masih
ditambah lagi dengan jabatan Mahamantri Wka dan Mahamantri
Bawang.
Jabatan tertinggi di
Medang selanjutnya ialah Rakryan Kanuruhan sebagai pelaksana
perintah raja. Mungkin semacam perdana menteri pada zaman sekarang atau setara
dengan Rakryan Mapatih pada zaman Majapahit. Jabatan Rakryan
Kanuruhan pada zaman Majapahit memang masih ada, namun kiranya setara
dengan menteri dalam negeri pada zaman sekarang.
Keadaan penduduk
Agama resmi Kerajaan
Medang pada masa sebagai petani. Kerajaan Medang memang terkenal sebagai
negara pemerintahan Sanjaya adalah Hindu aliran Siwa. Ketika Sailendrawangsa berkuasa, agama
resmi kerajaan berganti menjadi Buddha aliran Mahayana. Kemudian Penduduk Medang sejak periode
Bhumi Mataram sampai periode Wwatan pada umumnya bekerja pada saat Rakai Pikatan dari Sanjayawangsa berkuasa, agama
Hindu dan Buddha tetap hidup berdampingan dengan penuh toleransi.
Konflik takhta periode
Jawa Tengah
Pada masa
pemerintahan Rakai Kayuwangi putra Rakai Pikatan (sekitar 856 – 880–an), ditemukan beberapa
prasasti atas nama raja-raja lain, yaitu Maharaja Rakai Gurunwangi dan Maharaja
Rakai Limus Dyah Dewendra. Hal ini menunjukkan kalau pada saat itu Rakai
Kayuwangi bukanlah satu-satunya maharaja di Pulau Jawa. Sedangkan
menurut prasasti Mantyasih, raja sesudah Rakai
Kayuwangi adalah Rakai Watuhumalang.
Dyah Balitung yang diduga
merupakan menantu Rakai Watuhumalang berhasil mempersatukan kembali kekuasaan
seluruh Jawa, bahkan sampai Bali. Mungkin karena
kepahlawanannya itu, ia dapat mewarisi takhta mertuanya.
Pemerintahan Balitung
diperkirakan berakhir karena terjadinya kudeta oleh Mpu Daksa yang mengaku sebagai keturunan
asli Sanjaya. Ia sendiri kemudian
digantikan oleh menantunya, bernamaDyah Tulodhong. Tidak diketahui dengan
pasti apakah proses suksesi ini berjalan damai ataukah melalui kudeta pula.
Tulodhong akhirnya
tersingkir oleh pemberontakan Dyah Wawa yang sebelumnya menjabat sebagai
pegawai pengadilan.
0 komentar:
Posting Komentar